PROFIT ADALAH CARA MENCAPAI TUJUAN, BUKAN TUJUAN AKHIR
Seorang entrepreneur sejati tidak akan pernah menempatkan profit sebagai tujuan. Profit memang sangat penting bagi kehidupan perusahaan, tanpa profit maka perusahaan akan gulung tikar, namun profit bukanlah tujuan akhir.
Dalam buku Man of Honor, diungkapkan bahwa ambisi WS dalam berbisnis adalah bisnis harus mampu menyejahterakan bangsa. Ini dilatarbelakangi dari pengalaman kecil beliau yang dipaksa menjadi penafkah keluarga di usia 12 tahun (orang tua WS meninggal di usianya ketika baru menginjak 12 tahun) di tengah situasi ekonomi Indonesia yang sedang hancur akibat penjajahan. Ini membangkitkan semangat beliau bahwa berdagang harus mampu mensejahterakan bangsa dan salah satunya adalah melalui penciptaan lapangan kerja.
Prinsip ini terus dipegang kukuh oleh WS ketika ia membesarkan Astra International. Sekilas orang luar mungkin menilai bahwa Astra International itu serakah karena mendirikan unit usaha dimana-mana. Secara logika bisnis memang bisa diterima, apalagi ketika supply chain itu terintegrasi maka antar unit akan saling menghidupi diri sendiri. Namun, di sisi lain ini adalah perwujudan idealisme WS bahwa ketika pohon Astra terus bertumbuh maka Astra akan mampu memakmurkan bangsa karena dengan demikian lapangan pekerjaan akan tercipta dan ekonomi rakyat sekitar juga akan terangkat derajatnya.
Singkat kata profit Astra International telah digunakan untuk mewujudkan idealisme WS tersebut. Ini sejalan dengan riset Jim Collins yang dituangkan dalam buku “Built to Last”. Riset Collins mengatakan bahwa perusahaan yang mampu bertahan dan terus berkembang selama ratusan tahun adalah mereka yang meletakkan profit sebagai cara untuk mencapai misi atau tujuan mengapa mereka didirikan. Dengan demikian, kini kita mengetahui mengapa Astra International dapat terus berkembang dan bertahan selama puluhan tahun di Indonesia.
PEMIMPIN HARUS MENCIPTAKAN LAPANGAN PEKERJAAN
Teddy Tohir, yang menjadi salah satu saksi hidup kepemimpinan WS, menyatakan bahwa terdapat dua prinsip yang dipegang teguh oleh WS dalam berbisnis dan ini bukan omong kosong belaka karena telah ia jalankan dengan konsisten di Astra sehari-hari:
- Uang bukanlah yang terpenting melainkan kesejahteraan (prosperity) karyawan dan bangsa
- Memperlakukan karyawan selayaknya manusia
Dua prinsip inilah yang membedakan WS dengan pengusaha besar seangkatannya. Saat ini, kedua prinsip itu telah diterjemahkan dalam corporate value Astra International sebagai Catur Dharma yang menjadi panduan bagi rakyat Astra dalam berbisnis. Semasa di Astra, WS selalu menekankan kepada eksektutif dan manajemen bahwa“pemimpin harus menciptakan lapangan pekerjaan”.
Ada dua kisah menarik mengenai ini:
Kisah Nomor 1: Interdelta
Ini dialami oleh Ida Lunardi, mantan Direktur Keuangan dan Administrasi Interdelta. Suatu ketika, setelah 8 tahun bekerja di grup Astra, Ida harus menghadapi amarah besar WS. Ini bermula dari keputusan Ida untuk melakukan PHK terhadap sebagian besar karyawan Interdelta. Kurang lebih percakapan antara Ida dan WS ketika itu adalah sebagai berikut:
Om William: “mengapa karyawan Interdelta dipecat”
Ida Lunardi: “om, sebagai profesional, saya harus menutup toko dan lab dan sebagai akibat dari itu tentu ada pengurangan jumlah karyawan”
Om William:”apapun alasannya kita tidak boleh memecat orang kita, kamu itu pemimpin dan pemimpin harus menciptakan lap. kerja”
Kejadian ini telah meninggalkan ’sesal’ bagi Ida Lunardi, dalam pengakuan di dalam buku Man of Honor, ia masih merasa bersalah terlebih setelah kejadian itu hubungan dengan WS merenggang sampai ajal menjemput WS beberapa tahun lalu.
Kisah Nomor 2: Federal Motor
Ini dialami oleh Budi Setiadharma, ketika itu adalah Direktur Utama Federal Motor. Federal Motor pernah mengalami krisis di pertengahan tahun 1980an sebagai konsekuensi dari krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia ketika itu.
Dalam rangka menyelamatkan Federal Motor, Budi Setiadharma mengusulkan kepada WS untuk melakukan PHK sebagai bagian dari program pengurangan biaya. Namun, dengan tegas WS menolak mentah-mentah dan menekankan kepada Budi Setiadharma “Bud, saya tidak khawatir kalau kamu kehilangan pekerjaan, dengan gelar dan pengalaman kamu akan mudah mencari pekerjaan dimana saja tapi rakyat bawahmu itu harus diperhatikan, mereka mau makan dan hidup darimana?”.
Penolakan WS itu telah membuat Budi Setiadharma ‘terpaksa’ berpikir keras untuk mengambil jalan lain dalam menyelamatkan Federal Motor. ‘Keterpaksaan’ itu telah mendorong lahirnya keputusan strategik terbaik dalam sejarah korporasi Indonesia ketika menghadapi krisis. Dalam rangka mengantisipasi penjualan sepeda motor yang terus menurun, Federal Motor mengeluarkan dan menjual sepeda merk Federal. Sepeda tersebut telah sukses secara komersil dan mampu menghasilkan pertumbuhan bagi Federal Motor di tengah krisis tanpa melakukan PHK satu orangpun.
Kisah Nomor 3: “tembak mati saja ditempat”
Ini pernah dialami oleh Budi Setiadharma. Suatu ketika, sebagai Direktur Utama Federal Motor, ia tiba-tiba dipanggil mendadak oleh WS untuk menghadap ke kantor pusat. Dengan tergesa-gesa ia menghampiri WS di kantor pusat, dan sesampai disana ia melihat WS sedang asik berbincang dengan Pangkopkamtib Soedomo yang ketika itu ditunjuk Pak Harto sebagai Menteri Tenaga Kerja.
Dengan berseloroh sembari menunjuk Budi, WS mengatakan “Pak Domo, ini orang punya tanggung jawab terhadap hidup ribuan pekerja, kalau ada satu orang saja di PHK oleh dia, tembak mati saja ditempat”
PROFESIONAL DAN ENTREPRENEUR ITU TERPISAH NAMUN SALING MENDUKUNG
Ketika di awal tahun 1990, para guru manajemen mulai berbicara mengenai profesionalisme di perusahaan keluarga, WS sudah menegakkan itu dari jauh hari di pertengahan tahun 1970an.
Ia menjunjung tinggi profesionalitas dan manajemen, ini ditunjukkan dengan ‘keikhlasan’ untuk melepas kuasa operasional kepada para eksekutif dimana 80% dari mereka bukan keluarga. Para profesional diberi kebebasan untuk bertindak apa yang menurutnya baik dan WS tidak pernah mengintervensi kewenangan para profesional tersebut. Ia memahami batas peran owner dan profesional demi kemajuan Astra International.
Ini ditunjukkan seringkali ketika para profesional bersebrangan pendapat dengan WS mengenai pembukaan bisnis baru. Ketika mereka menolak, WS menghargai pendapat mereka dan menggunakan dana pribadi (bukan Astra) untuk merintis usaha tersebut. Ini tentu aneh karena sebagai pemilik ia bisa saja memaksa untuk menggunakan dana Astra namun dikarenakan tidak ingin merusak kualitas profesionalisme yang turut dibangun olehnya ia memilih untuk menggunakan dana pribadi
Ada dua kisah menarik mengenai bagaimana peran “Profesional” dan “Owner” terpisah namun saling mendukung:
Kisah Nomor 1: Pendirian Astra Agro
Sedikit orang mengetahui bahwa PT Astra Agro telah dirintis dengan menggunakan kantong pribadi WS dan baru diambil alih oleh Astra International bertahun-tahun setelah awal pendiriannya.
Sebagai pengusaha, WS melihat peluang bahwa sektor agrobisnis akan menjadi berlian bagi ekonomi Indonesia. Terlebih, sektor ini akan selalu mampu menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak mungkin karena ia bersifat massal. Namun, ide ini ditolak mentah-mentah oleh para eksekutif Astra yang ragu dengan kontribusi agrobisnis terhadap neraca Astra International. Akan tetapi, alih-alih ia memaksakan pendapat dan menggunakan otoritas owner untuk menggunakan dana Astra ia memilih untuk merintis dengan menggunakan kantong pribadi.
Ketika agrobisnis mulai menunjukkan kemilau, baru diambil alih oleh Astra International dan keyakinan WS itu terbukti karena agrobisnis turut berkontribusi besar terhadap pencapaian laba Astra Agro.
Kisah Nomor 2: Pendirian Federal Oil
Sedikit orang juga mengetahui bahwa pendirian PT Federal Karyatama itu menggunakan kantong pribadi WS dan dimulai dari perbincangan sederhana di toilet!
Ketika Budi Pranoto mengetahui sosok siapa yang ditemuinya di toilet, ia langsung dengan pede menyambar “Om ada bisnis menarik nih” kemudian disambut oleh WS “bisnis apa Bud?”, “oli pelumas Om” jawab Budi. Untuk mempersingkat cerita, tidak lama setelah perbincangan di toilet itu, WS memberikan dana dari kantong pribadi senilai 500 juta rupiah untuk mendirikan PT Federal Oil.
Contoh pemantapan profesionalisme di Astra International tidak berhenti sampai disitu. Setidaknya dalam kepemimpinan WS kita dapat mempelajari dua hal:
Pertama, para profesional senantiasa didorong dan dipercaya untuk mengambil risiko. Ini dilakukan agar si eksekutif mampu menjalankan perusahaan seakan seperti menjalankan perusahaan sendiri dan ini telah meningkatkan kompetensi dan pengalaman yang telah menjadi ‘bekal’ bagi mereka untuk masuk ke daftar orang terkaya di Indonesia setelah keluar dari Astra, sebut saja seperti Benny Subianto.
Kedua, SDM merupakan kunci keunggulan dalam bersaing dan dengan itu didirikan Astra Education and Training Center di tahun 1989 yang kemudian di tahun 1993 berganti nama menjadi Astra Management Development Institute (AMDI). Disamping itu, WS juga banyak mengirimkan profesional Astra belajar ke berbagai institusi terkemuka di luar negeri. Hebatnya, mereka tidak pernah dikenakan ikatan dinas dan WS tidak pernah perdulu apakah nanti mereka tetap bertahan atau keluar dari Astra karena bagi beliau toh program ini berdampak bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sebagai hasilnya, dari sekian ribu orang yang telah dikirim dan kembali banyak yang besar dan tumbuh bersama astra dan sedikit sekali yang memutuskan keluar dari astra.
Kesimpulan dari pelajaran nomor 3 ini adalah, jauh sebelum para praktisi bercerita tentang “profesionalisme di perusahaan keluarga”, “intrapreneurship” dan “human capital development”, hal tersebut telah dijalankan dengan baik oleh WS jauh sebelum konsep itu ditemukan dan dibicarakan.
BISNIS ITU HARUS MENSEJAHTERAKAN BANGSA
Bisnis itu harus berdampak bagi kemajuan bangsa, itulah keyakinan WS yang akhirnya mendirikan Yayasan Dharma Bakti Astra di tahun 1980. Yayasan tersebut merupakan terjemahan dari idealisme WS bahwa Astra International harus mampu memakmurkan bangsa. Namun, alih-alih ini bersifat filantropi, WS justru menginginkan yayasan ini mampu mengangkat derajat ekonomi seseorang dengan tidak memberikan ikan melainkan kail.
Yayasan ini sudah terkenal dalam mendanai dan membantu UKM-UKM yang nantinya akan menjadi supplier atas kebutuhan operasional Astra. Inilah hebatnya WS, jauh sebelum orang berbicara mengenai konsep Corporate Social Responsibility (CSR baru mulai menjadi perbincangan hangat di dunia manajemen di pertengahan tahun 2000an) dan “berikan kail bukan ikan”, WS sudah melaksanakan itu di tahun 1980an. Komitmen ini begitu kuat, pernah suatu ketika dalam penentuan anggaran untuk YDBA ditentukan akan mendapatkan 1% dari profit Astra dan karena merasa itu sangat kurang, maka WS menambahkan dana YDBA dari kantong pribadi.
Inilah konsep CSR jempolan yang jauh dijalankan WS sebelum orang membincangkannya, bahwa CSR itu harus win-win solution dimana masyarakat terangkat kesejahteraannya dan perusahaan juga mampu memetik manfaat operasional dari itu. Itu semua tentu susah dilaksanakan bila kita tidak berkeyakinan bahwa bisnis itu harus mensejahterakan bangsa.
KEHORMATAN ITU SEGALA-GALANYA
Ketika dihadapkan dengan permasalahan Bank Summa, tidak seperti pengusaha lain setelahnya yang kebanyakan kabur dan melarikan dana pemerintah, WS dengan berani menghadapi dan menyelesaikan itu dengan dana sendiri dan sebagai konsekuensi membuatnya kehilangan Astra International.
Singkat cerita, permasalahan Bank Summa diakibatkan oleh salah satu anak WS dan secara hukum WS dapat mengambil jalan aman dengan tidak terlibat karena bank itu tidak pernah tercatat didirikan oleh dia. Namun, dengan alasan ‘menjaga kehormatan keluarga” WS memilih untuk tampil ke depan dan menyelesaikan krisis yang dihadapi oleh Bank Summa. Ia berkomitmen untuk membayar semua dana nasabah yang ditabung dengan uang pribadi dan ia harus berjuang bertahun-tahun untuk melunasi hutang kepada nasabah.
Demi kehormatan keluarga, WS harus dan telah rela kehilangan kreasi terbesar dia, Astra International, dan dengan perlahan melunasi dana nasabah yang telah hilang dari kantong pribadi, tindakan ini termasuk mulia dan profesional dan sangat berbanding terbalik dengan kasus Century ataupun pelarian BLBI. Ini tentu tidak akan terlaksana bila kita tidak memandang kehormatan itu adalah segala-galanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar